Laman

Rabu, 19 Juni 2013

RETRIBUSI DAERAH


Pada pertemuan kali ini, kita akan membahas pokok permasalahan tentang Retribusi Daerah. 
Retribusi merupakan salah satu sumber pendapatan daerah selain Pajak Daerah. Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian Izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Perbedaan pengertian antara Pajak dan Retribusi adalah dari segi kemanfaatannya bagi subyek pajak/retribusi, dimana untuk subjek pajak tidak mendapatkan imbalan secara langsung atas uang yang dibayarkannya kepada Pemerintah Daerah, sebaliknya untuk subyek retribusi akan mendapatkan imbalan atau manfaat langsung dari biaya yang dikeluarkan untuk pembayaran retribusi. Misalnya pembayaran retribusi Izin Mendirikan Bangunan, maka pihak wajib retribusi sebagai pemohon izin akan mendapatkan legalitas dari Pemerintah Daerah terhadap bangunan yang didirikannya  berupa Surat Izin Mendirikan Bangunan. Jadi manfaat langsung yang diperoleh dari wajib retribusi adalah berupa surat izin/legalitas yang diberikan Pemerintah Daerah kepada wajib retribusi.

Retribusi digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu :
  1.  Retribusi Jasa Umum adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
  2. Retribusi Jasa Usaha adalah retribusi atas jasa usaha yang diberikan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
  3. Retribusi Perizinan Tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian Izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

Jenis-jenis retribusi akan selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan ekonomi dan social di masing-masing Daerah. Misalnya pada tahun 2006 sesuai dengan Perda No 1 Tahun 2006, jenis retribusi jasa umum berjumlah 21 jenis, tapi pada tahun 2012 jenis retribusi telah dikurangi menjadi 13 jenis. Retribusi Jasa Usaha, pada tahun 2006 berjumlah 11 jenis, pada tahun 2012 berjumlah 10 jenis retribusi. Retribusi Perizinan tertentu pada tahun 2006 berjumlah 43 jenis retribusi, dan pada tahun 2012 berjumlah 5 jenis retribusi.
Pengurangan jenis retribusi tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melakukan efisiensi dalam proses perijinan, sehingga dapat menarik investor swasta untuk menanamkan investasinya di Daerah tersebut.

Untuk materi presentasi dapat didownload di sini. 


Kamis, 13 Juni 2013

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) PEDESAAN DAN PERKOTAAN (P2)


Pajak Bumi dan Bangunan atau PBB adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan pada sektor perdesaan dan perkotaan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan. Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah Tk II Kabupaten/Kota ini adalah PBB sector Pedesaan dan Perkotaan (P2), sementara PBB sector P3 (Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan) masih dipungut oleh Pemerintah Pusat (Direktorat Jenderal Pajak).
Sebelum berlakunya UU No 28 Tahun 2009, pengelolaan dan pemungutan PBB sector P2 dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Namun seiring dengan adanya otonomi daerah, sejak tahun 2012 sebagian pemerintah daerah Kota/Kabupaten diberikan kewenangan untuk mengelola dan memungut PBB sektor P2. Salah satu alasan diberikannya pengelolaan PBB sector P2 kepada Pemerintah Daerah adalah bahwa selama ini hasil pendapatan PBB (90%) dikembalikan kepada Daerah, sehingga agar lebih efektif, semua hasil pendapatan PBB sector P2 diberikan kepada Pemerintah Daerah. Jadi Pemerintah Pusat tidak lagi mendapatkan bagian hasil pendapatan PBB sector P2.
Namun sampai dengan tahun 2013, tidak semua Kabupaten/Kota di Indonesia telah siap secara administrasi dan SDM untuk mengelola PBB sector P2. Masih banyak Pemda yang belum memiliki Peraturan Daerah sebagai landasan hukum untuk memungut PBB P2. Selain itu aparat pelaksana di lapangan (SDM) juga masih menjadi kendala tersendiri sehubungan dengan penyerahan pengelolaan pemungutan PBB sector P2 ini.
Dalam menghitung besarnya PBB terutang, terdapat sedikit perubahan dalam tata cara melakukan perhitungan PBB. Perhitungan PBB terutang selama masih dipungut oleh DIrektorat Jenderal Pajak adalah perkalian antara tariff pajak yang bersifat tetap sebesar 0,5% dengan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yang besarnya antara 20% sampai 100%  dan selisih antara NJOP dan NJOPTKP.
Jadi rumusan perhitungan PBBnya adalah tariff x NJKP x (NJOP – NJOPTKP).
Sedangkan berdasarkan Perda No 16 Tahun 2011 tentang PBB, rumusan perhitungan PBB terhutang disederhanakan menjadi :
PBB terutang = tariff x (NJOP-NJOPTKP).
Dimana besarnya tariff PBB ditetapkan secara berjenjang tergantung dari besarnya NJOP sebagai dasar pengenaan pajaknya. Tarif maksimum untuk PBB P2 berdasarkan UU No 28 Tahun 2009 adalah sebesar 0,3%.
Untuk materi presentasi dapat didownload di sini.


Kamis, 06 Juni 2013

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

BPHTB atau Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dipungut atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Pajak atau Bea ini dipungut jika terjadi perolehan atas tanah dan bangunan baik yang disebabkan karena pemindahan Hak Kepemilikan tanah ataupun karena Pemberian Hak Baru. Pemindahan hak kepemilikan tanah dapat terjadi karena jual beli, Tukar Menukar, Hibah, Hibah Wasiat, Waris, Pemasukan dalam Perseroan atau Badan Hukum, Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha atau hadiah. Sementara itu Pemberian hak baru dapat terjadi karena adanya kelanjutan dari proses pelepasan hak ataupun karena diluar pelepasan hak.

Untuk menghitung besarnya Pajak BPHTB, Dasar Pengenaan Pajaknya ditentukan oleh besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan NPOPTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak). Besarnya NPOP ditentukan oleh jenis Perolehan Haknya. Untuk perolehan hak karena jual beli, besarnya NPOP ditentukan dari harga transaksi, sedangkan untuk perolehan karena proses lelang dari KPLN atau Balai Lelang, maka besarnya NPOP ditentukan dari harga lelang. Diluar kedua jenis perolehan hak tersebut, besarnya NPOP ditentukan dari nilai pasar. Jika nilai pasar atau harga transaksi tidak diketahui, maka digunakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) pada tahun terjadinya transaksi/peralihan hak. Jika terjadi perbedaan nilai antara nilai pasar dengan NJOP, maka diambil nilai yang lebih tinggi. Sebaliknya jika terjadi perbedaan nilai antara nilai hasil lelang dengan nilai NJOP, maka yang digunakan adalah nilai hasil lelang.

NPOPTKP (Nilai Perolehan Pajak Tidak Kena Pajak) ditetapkan oleh Peratutan Gubernur / Kepala Daerah. Untuk wilayah DKI Jakarta besarnya NPOPTKP untuk selain waris dan hibah wasiat ditentukan sebesar Rp 80.000.000,- . Sedangkan NPOPTKP karena Waris dan Hibah Wasiat yang memiliki hubungan garis lurus (keluarga) adalah sebesar Rp 350.000.000,-

Besarnya tarif BPHTB bersifat final maksimal sebesar 5% dari Dasar Pengenaan Pajak.

Untuk materi presentasi BPHTB dapat didownload di sini